07 Mei 2009

Dilema Menghadapi Kematian

EDITORIAL
I Nyoman Landra, ST
Selama jangka waktu pelakasanaan Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh di Besakih, ada aturan tidak diperbolehkan melangsungkan upacara yang berkaitan dengan mayat (sawa prateka) seperti membuatkan upacara untuk menguburkan jenasah apa­lagi melangsungkan upacara pengabenan. Aturan yang dikenal dengan istilah nyengker ini telah diedarkan oleh panitia.

Aturan ini banyak menimbulkan masalah di masyrakat, karena keluarga yang tertimpa musibah kematian tidak terima kalau jenasah keluarganya dikubur begitu saja tanpa ada upacara pemakaman sebagaimana mestinya. Teman saya di Buleleng bercerita bahwa ketika ada warga masyarakat memiliki kema­tian, maka pihak keluarga tersebut berkoordinasi dengan ketua PHDI Buleleng dan Majelis Madya Desa Pakraman. Kedua tokoh tersebut menyarankan untuk mengikuti aturan yang telah diedarkan.

Pihak keluarga tidak mau menguburkan jenasah tanpa dibuatkan upacara karena ada perasaan kurang berbakti terhadap yang meninggal tersebut. Ketika diberi altematif menunggu hingga selesai upacara di Besakih, pihak keluargapun keberatan karena masalah biaya untuk menjamu tamu yang akan datang setiap malam dan lain-lainnya. Pihak keluarga mau menunggu penguburan hingga upacara usai asalkan jenasah kelurganya bisa dititipkan di rumah ketua Majelis Madya Desa Pakraman atau rumah ketua PHDI. Tentu permintaan ini juga sangat memberat­kan bagi kedua tokoh tersebut, sehingga mau tidak mau jenasah tersebut dikuburkan sebagaimana mestinya alias melanggar aturan, asalkan dilaksanakan secara diam-diam.

Kejadian di Krambitan- Tabanan, berbeda dengan di Bule­leng. Ketika ada seorang sulinggih lebar (meninggal dunia), para pengurus desa pakraman juga tidak memberikan ijin untuk melangsungkan upacara pengabenan, padahal aturan nyengker tersebut memberikan pengecualian terhadap sulinggih yang meninggal selama berlangsungnya upacara Panca Bali Krma dan Bhatara Turun Kabeh. Karena keluarga sulinggih tidak mau ribut dengan pihak desa pakraman, maka pihak keluarga menyemayamkan jenasah sang sulinggih di gryanya hingga upacara di Besakih usai. Selama disemayamkan itu, sang suling­gih dianggap tidur sehingga tidak dibuatkan upacara setiap hari sebagaimana mestinya.

Kejadian di Denpasar berbeda lagi. Ketika ada keluarga tertimpa musibah kematian, maka dia menitipkan jenasahnya di rumah sakit untuk menunggu usainya upacara di Besakih. Karena banyak yang mau menitipkan jenasah di rumah sakit, maka pihak rumah sakitpun kehabisan stock "kontener mayat", sehingga pihak rumah sakit tidak bisa melayani permintaan masyarakat yang hendak menitipkan mayatnya di rumah sakit.

Di Karangasem, ada seorang pemangku meninggal dunia dan hendak melangsungkan upacara pengabenan. Keluarganya mendatangi krematorium Santha Yana, meminta untuk bisa me­langsungkan upacara pengabenan disana. Namun karena pihak krematorium tidak mau melayani, pihak keluargapun mencoba mencari krematorium yang lain untuk bisa digunakan sebagai tempat untuk mengabukan jenasah pemangku tersebut.

Beberapa hari yang lalu teman saya juga bertanya, "Ke­napa aturan nyengker hanya berlaku bagi umat Hindu di Bali? Bagaimana dengan umat Hindu di luar Bali? Bagaimana dengan umat non Hindu yang ada di Bali?" Teman ini juga mengaju­kan pendapatnya, "Kalau upacara Panca Bali Krama bertujuan untuk menciptakan keharmonisan jagat khususnya Bali, tentu seluruh manusia yang ada di Bali memiliki tanggungjawab dan kewajiban yang sama. Jangan hanya cari makan dan kekayaan di Bali, namun tidak ikut menciptakan suasana harmonis baik secara skala maupun niskala. "Sayapun mencoba menimpali, "Lo ... , mereka kan bukan orang Hindu, tentu mereka tidak memiliki keyakinan yang sarna dengan kita orang Hindu, mana bisa mereka dipaksa untuk ikut aturan kita. Bisa jadi, mereka berpandangan biarin aja orang Bali membuat upacara yang besar-besar, kita suplay seluruh kebutuhannya seperti janur, kelapa, pisang, telur, ayam, itik dan lain sebagainya."

Melihat beberapa fakta tersebut membuat saya menjadi merenung dan bertanya dalam hati, "masih sesuaikah aturan tentang penyengkeran jenasah selama Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh?" Melihat masyarakat (umat Hindu) yang semakin kritis dewasa ini, tentu semakin sulit menerapkan aturan yang tidak masuk akal, walaupun ada acuan­nya seperti lontar-lontar atau sejenisnYa. Umat akan menuntut rujukan yang lebih tinggi, karena sebagian umat menganggap lontar itu setara dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak-juknis).

Kekritisan umat dewasa ini hendaknya disikapi secara bijak oleh seluruh lapisan umat sehingga agama Hindu yang dikenal universal dan fleksibel bisa dirasakan langsung oleh umatnya. Jika ada aturan yang dirasa memberatkan umat, tentu sudah menjadi kewajiban bagi tokoh-tokoh umat (PHDI, Majelis Desa Pakraman, Sulinggih dll) untuk duduk bareng dan melakukakan pengkajian ulang sehingga aturan tersebut bisa disesuaikan den­gan perkembangan jaman. Aturan baru yang dihasilkan tersebut, tentu harus disosialisasikan dengan baik sehingga umat Hindu bisa memahami aturannya termasuk dasar-dasar pijakan yang dirujuk aturan tersebut.

04 Mei 2009

Politik Ritual Kematian

I Ngurah Suryawan